Selasa, 17 Juli 2012

Kisah Si Autis dan Calon Bhante

Karya gue semasa SMA. Sebenarnya buat ngejek temen gue, namanya juga masih ababil. Hehehehe. Gue post aja yah. Btw, kata-kata gue kok garing banget ya. Masih warming up blogging. Syalalalalala #apasih


KISAH CINTA SI AUTIS DAN CALON BHANTE

            Hai, aku Delia. Aku adalah seorang murid SMA. Seperti manusia biasanya, aku punya sebuah perasaan sayang pada orang. Tapi perasaanku sekarang telah terbungkus oleh trauma akibat ditinggalkan oleh orang yang aku paling sayang, Jofi.
            Jofi itu adalah kakak kelasku. Dia meninggalkan aku untuk wanita lain setelah aku benar-benar menyerahkan perasaanku seutuhnya padanya. Dia menjanjikan sepasang cincin pernikahan ketika aku lulus kuliah nanti. Ternyata dia telah pergi. Jadi biarkan aku menjaga perasaan ini, menjaga segenap cinta Jofi.
            Aku menjalankan kehidupanku seperti biasa berusaha menghapus bayang-bayang Jofi yang tiap hari mengikis hatiku perlahan-lahan. Bersama sahabat-sahabatku aku jalani hidupku tanpa Jofi. Aku patut berterima kasih pada salah seorang sahabatku, Ye. Dia mensuportku terus menerus sehingga aku bisa melupakan Jofi.
            Yeah, aku berhasil melupakannya. Sekarang aku bagai seorang wanita yang alergi pada pria. Tak ada satupun pria yang pernah bisa mengisi hatiku seperti Jofi. Banyak sekali yang aku tolak, cowok bawel, cowok cerewet dan menjijikkan sekalipun.
            Kadang aku merasa aku plin-plan. Aku bertemu dengan Khevyn. Teman sekelasku. Dia pendiam dan sangat membuatku kagum. Tetapi akhirnya aku tahu, bahwa dia adalah seorang gay. Tidak lebih dari seorang bajingan berbibir.



            Aku capek setelah sekolah. Kemudian aku pulang ke Kamlay naik bus. Aku memutar-mutar tas merahku dan handphoneku berdering. Tertera nama Jofi.
            “Halo. Ada apa?”, jawabku malas.
            “Kamu masih ingat aku kan?? Aku ini Jofi…”
            “Maaf tidak ada waktu aku. Sudah dulu ya”
            Aku mematikan handphoneku. Aku sempat deg-degan mendengar suara Jofi kembali. Tapi aku keingat dia, aku menjadi sebal kembali. Aku kemudian meremukkan handphoneku sampai hancur dan membersihkan serpihan handphoneku dari tanganku.
            Aku kemudian merasa lapar dan memasuki sebuah supermarket membeli lima bungkus keripik jengkol. Aku kemudian menaruh lima bungkus keripik jengkol di atas kasir dan Bibi Juce tersenyum padaku.
            “Ada apa, Del? Sepertinya mukamu lesu sekai”
            “Nggak apa-apa, Bi”
            Aku ingin membayar keripik itu. Aku gerepe tasku untuk mencari dompetku. Sial! Tidak ada! Apakah aku dari tadi tidak tahu bahwa aku tidak membawa dompet? Aku kemudian mengeluarkan isi tasku di atas meja kasir. Sekarang di atas meja kasir terdapat lima keripik jengkol dan barang-barang dalam tasku. Lipgloss, bedak padat, eyeliner, mascara, softlens, parfum, daleman, pil KB, obeng, g-string­, dan. Ups, ada beha tetangga nyangkut juga di tasku!
            Ketika aku sibuk mencari dompetku, aku kemudian melihat seorang pria kecil berkuping lebar tersenyum padaku sambil membawa belanjaannya, lima botol Baygon. Dia berdiri di belakangku.
            “Apakah lelaki ini bisa duluan membayar?”, tanya Bibi Juce.
            Aku mengangguk dan mempersilahkan lelaki itu membayar duluan. Kemudian aku mendengar handphoneku berdering. Ah, ternyata handphone lelaki berkuping lebar itu. Nada deringnya sama, handphonenya juga sama. Kemudian setelah dia menutup handphone itu, dia meletakkannya di meja kasir dan melanjutkan bayarannya. Kemudian handphonenya berbunyi lagi. Berisiknya minta ampun. Kepalaku ngilu, gigi bergemeretak. Sekarang dia mengangkat handphone yang berbeda. Pantes brisik. Ada soundsystem lengkap.
            “Iya! Iya! Sebentar lagi ya”, kata lelaki itu.
            Dia kemudian mengambil belanjaannya dan buru-buru pergi. Setelah itu Bibi Juce benar-benar mengizinkanku melunasinya besok. Aku kemudian merapikan isi tasku. Dan aku naik bus lagi jurusan Kajangan.
            Aku benar-benar lelah. Otakku terasa kram. Handphoneku berdering lagi. Aku makin merasa yakin aku akan membakar semua pabrik handphone yang menciptakan handphone bisa bunyi. Aku mengangkatnya.
            “Halo?”, nadaku ketus.
            “….”
            “Halo!”, nadaku naik satu oktaf.
            “……..”
            “WOY HALO! HEY! HELLO! IS THERE SOMEBODY THERE! HELLO! ANSWER ME ANSWER MAMAEN!!”
            “Ngg, apakah ini Inching?”, suara lelaki.
            “Bukan. Delia disini dan nggak ada yang namanya Inching. Situ sopo?”
            “Ane Setio”
            “Hah Ana? Suara lu kok kayak cowok?”
            “Pernah belajar bahasa arab ga sih? Ane itu aku!”
            “Ohhh, sorry deh kalo gitu”
            “Maap ya salah sambung. Bye”
            Aku kemudian menggaruk ketekku karena kebingungan. Bodolah. Aku kemudian pulang. Handphoneku berdering lagi. Aku menggoreskan kukuku ke layer handphone itu.
            “Halo?”, suara orang.
            “Iya?”
            “Maap ya. Sepertinya hape yang anda pegang sekarang itu punya saya”, ujar orang itu.
            Aku baru ingat hapeku telah menjadi serpihan dan menyatu dengan debu di bus yang ku tumpangi. Dan yang aku ambil kemungkinan punya cowok berkuping itu.
            “Oh, maaf. Eike lupa”, kataku.
            “Anterin ke sini yah. Ke Kaphlyng Real Estate depan Sad Wedding Hall. Ntar saya tunggu Anda di sana”
            “Mau dibayar berapa gue?”
            “Maunya brapa?”
            “Buka harga dah lu nya”
            “300 rebu”
            “Ogah!! 200 aja”
            “Oke. Saya tunggu”
            Aku terpaksa turun dari bus Kajangan menuju bus Kaphlyng. Setelah itu aku turun di Sad Wedding Hall. Ada cowok kuping lebar itu menungguku di situ.
            “Hai!”, sapaku sok kenal.
            “Anda yang tak sengaja ngambil hape aku ya??”
            “He eh”
            “Ayuk ke rumah saya dulu. Hape itu punya kerabat saya. Bukan punya saya”
            Aku mengikuti saja lelaki itu karena aku percaya lelaki itu orang baik-baik. Dia kemudian mengajakku mengikuti dia. Sekitar 2450 km aku berjalan ke rumahnya. Rumahnya mewah sekali. Tercium bau hyo yang sangat mengetarkan diriku ketika masuk ke sana. Ada sebuah patung Dewi Kwan Im di tengah-tengah kolam rumah itu. Sungguh religius. Aku terkesan sekali. Ketika aku masuk ke rumah itu, ada seorang lelaki beralis tebal tersenyum padaku.
            “Saya pemilik handphone itu”, katanya.
            “Oh iya, maaf”, aku menyerahkan handphone itu pada dia.
            “Saya Setio”
            “Oh, Delia”
            Kami saling bertatapan 3600 detik tanpa berkedip. Kemudian aku mengambil obat tetes mata yang ada di saku ku dan meneteskannya ke mata. Aku merasa dia naksir aku. Tatapan penuh dengan pencerahan Buddha terpancar dari matanya dan membuat kelopak mataku terasa lemas.
            “Ayo minum”, kata lelaki berkuping itu.
            Aku duduk di ruang tamu dan duduk di sofa. Ada tiga botol Baygon di atas meja ruang tamu.
            “Mari minum”, tawar Inching sambil meminum Baygon yang tadi dia baru saja beli.
            Aku hanya diam. Setio juga minum Baygon itu sambil tertawa-tertawa bersama Inching dan ngobrol. Kemudian mereka pingsan.


            Hari-hariku berubah sekali ketika mengenal Setio. Ternyata dia teman satu sekolahku. Setio semakin hari semakin memberikan perhatian lebih padaku. Aku merasa kami saling suka. Tanpa aku sadari kalau aku juga sangat menyukai Setio. Aku sungguh sangat mengagumi Setio, di hatiku Setio sangat istimewa, apalagi alisnya yang tebal dan sikap religiusnya sangat kental. Setio juga dapat membuatku untuk datang ke wihara dan memutuskan untuk disucikan. Dalam seminggu Setio dapat mengirimkanku tiga rim brosur ajakan untuk bertobat.
            Seperti biasa aku sedang duduk bersama sahabat-sahabatku di basecamp SMA-ku. Wuiiihhh, basecamp broo. Ada Ye, Visil, Cofflin, Ghelunks, Juppy. Ye merasa senang hari ini karena dia di ajak kencan oleh Kim Jong Woon. Beda dengan Visil, dia sedih ditinggalkan oleh lelaki bernama Gikuadrat yang malah enak nyeleweng sama cewe lain bernama Jomarudin. Cofflin sedang berkoar-koar tentang perusahaan kopi terbarunya yang akan dia beri nama VM (baca: vi em) bersama cowoknya. Ghelunks sedang stress memikirkan bagaimana masa depannya karena sebentar lagi dia akan dinikahkan. Juppy sedang asik memandang wasiat untuk memerintah Pacitan.
            Yeah, masing-masing sahabatku unik sekali masalahnya. Hal itu ngebuat muka mereka jadi abstrak satu sama lain kecuali Ye.
            “Del”
            Aku mendongak ke arah orang yang memanggil namaku.
            Ah, Setio. Dia merangkul sebuah jaket dan mengangangkat salah satu alisnya. Sahabatku semua menyikut aku alhasil tubuhku bergeser tiga meter. Aku tersipu-sipu malu-malu-tapi-mau.
            “I..iya, Set”, jawabku.
            “Aku mau kita berbicara sebentar. Penting. Hanya kau dan aku”
            Ahhh, aku kemudian mengelus-elus pohon yang tidak tahu dari mana tiba-tiba ada di sebelahku.
            “Oke deh. Teman-teman permisi”, kataku.
            Temanku tersenyum mupeng. Aku juga mupeng. Inching juga mupeng. Loh, ada Inching toh?
            “Del”, ucap Setio membuka percakapan.
            “I..iya Set”
            “Del, ada sesuatu yang mau aku ungkapkan”
            “Silahkan, Set”
            “Del, aku... Ngg...”
            “Apa Set”
            “Ini...”
            “Apaaa?”
            “Aku su... Ngg... su”
            “Su? Susu? Supariyem?”
            “Suka...”
            Aku! Aku! Plisss... Delia! Say it!
            “Suka kamu...”
            YES!
            “...kalo kamu jadi tukang angkut lilin Wihara. Kamu bisa kan? Seminggu sekali kok. Cuma satu dus”
Ngg...
            “Bisa ya?”
            “Oh, oke deh. Satu dus doang kan?”
            “Iya, Del”, senyumnya manis, “Aku tahu dari sahabat-sahabat kamu kalo kamu itu cewek paling perkasa. Jadi aku minta tolong. Oh ya, nanti dusnya tiap minggu ambil di rumah saya ya”
            Aku mengangguk. Dia tersenyum dan mengelus rambutku kemudian pergi. Aku memandang kepergianya terpesona. Ahhh... Tak lama kemudian, aku mengelus kembali rambutku yang tadi dielus dia. Ada saos sambel. KURANG AJAR DIA MEPERRR!!


            Sudah empat bulan aku jadi tukang angkut lilin ke wihara. Satu dus sih satu dus. Tapi dusnya buat ngebungkus tronton. Alhasil tulang punggungku sekarang bercabang tiga. Tapi tidak apa-apa, aku akan sering bertemu Setio. Setio adalah seorang yang benar-benar religius. Misalkan dunia ini memiliki 24 jam seharinya, Setio memiliki 48 jam seharinya untuk berdoa walaupun endingnya aku nggak tau gimana cara Setio nyempilin waktu 24 jam lagi ke satu hari itu.
            Aku juga merasa diriku menjadi sangat bersih sekarang setelah insiden hape keambil dan bertemu Setio. Sarang laba-laba di kamarku sedikit berkurang, lumut di WC ku punah satu spesies dari beberapa spesies yang ada, dan tentunya upilku sudah berwarna hijau sekarang.
            Setio semakin hari semakin perhatian padaku. Dia mengajakku dinner di sebuah restoran mewah, Italian Steak. Kami masuk ke sana. Dan duduk di sebuah meja makan romantis pinggir kolam, balon-balon di kolam dan permainan piano indah. Ada sepasang lilin pink dan putih tegak berdiri di hadapan kami.
            “Del, kamu suka?”, tanyanya tiba-tiba di keheninganku.
            “Suka sekali”, decakku kagum.
            “Ini”, dia menyodorkanku sebuket bunga Edelweiss.
            “Buatku?”, aku tidak menyangka.
            “Bukan, besok bawain ke wihara ya”
            “Iya”, kataku kecewa.
            “Del, aku bawa kembang api. Kamu mau main?”
            “Romantisnya”
            Setio mengeluarkan sejumlah kembang api. Dia mengambil satu. Aku juga. Dia menyakakannya. Kemudian sebuah bunga api besar mekar di langit. Indah sekali. Aku sampai meneteskan One Litre of Ilers. Kemudian Setio memegang tanganku. Jantungku deg-degan. Senang. Apakah dia akan menembakku?
            “Balikin dong yang itu. Jangan mainin yang ini dulu. Sayang”, kata Setio dengan muka yang mau nangis tidak merelakan kepergian kembang api yang aku pegang.
            Aku hanya menyerahkannya dengan pasrah.
            “Udah ya satu aja. Ini buat tahun baru tahun depan lagi”, kata Setio sambil mengemasi kembang api yang tadi dia keluarkan.
            Kami kembali duduk. Ada seorang pelayan memberikan kami daftar menu.
            “Excuse me, Sir. Here the menu”, kata ntu weiter.
            “Yes yes”, kata Setio.
            “If  you want to order, you can ask me, Romunaldo Espresso Mochacino
            “Yes yes
            Aku melihat-lihat menu. Busyet. Harganya seajubile. Termurah kayaknya aer kobokan. Tapi pas aku cek nggak ada air kobokan. Rata-rata harganya 500 ribu per porsi. Kabar unggasnya sih katanya sapi-sapi yang akhirnya wafat dalam bentuk steak ini pas masih idupnya dicebokin pake emas. Gila.
            “Mau mesen apa?”, tanya Setio “Aku yang traktir”
            “Em.. Apa ya? Bener kamu yang traktir? Nggak apa-apa?”
            Setio mengangguk yakin.
            “Ya sudah deh yang paling murah”, aku menunjuk steak yang paling murah.
            “Jangan dong, kita kan harus vegetarian. Ingat ga?”
            “Oh”, aku terdiam dan berpikir sejenak “Tapi ini hidangan steak semua”
            “Emang. Tapi apakah aku menyuruh kamu memilih daging-dagingan? Kamu tahu nggak siapa tahu sapi yang kamu makan adalah reinkarnasi dari leluhur kita?”
            Setio jadi emosi. Otomatis aku melirik lagi semua daftar menu. Non daging? Jih, namanya juga restoran steak. Gimana sih? Ada juga air putih, jus-jusan dan cebokan tangan.
            “Air putih deh”, aku mulai malas dengan semua ini.
            “Nah, gitu dong”, kata Setio.
            Dalam hatiku, aku tahu sebenarnya Setio nggak ikhlas nraktir aku. Tahu gitu toh mending bawa aer putih rebusan emak di rumah.


            Bel sekolah sudah bunyi, aku girang gembira keluar kelas. DEG. Setio? Apa? Setio bersama seorang gadis? Aku menyembunyikan diriku di balik tembok. Aku menatap gadis itu. Ah, sial. Si Yosa, atlit gundu yang sudah mengharumkan nama sekolahku berkali-kali. Sudah go international segala! Buset. Boro-boro aku go internasional, nyentil gundu pake jari aja nggak bisa!
            Kini aku bisa melihat tatapan Setio kepada Yosa. Dalam, hangat, bersahabat dan nafsu birahi. Sayangnya aku nggak bisa melihat wajah Yosa. Aku menitikkan sebutir ingus dan air mata. Yosa kemudian memegang alis Setio. Ah! Aku tambah cemburu. Aku tak kuasa dengan ini! Aku mau pergi saja! Aku kemudian berlari secepatnya. Secepatnya yang aku bisa. Aku tak peduli siapapun di sampingku! Aku yang seharusnya memiliki alis Setio duluan! Aku yang harus duluan memegang alis Setio, bukan Yosa! Aku terus menangis.
            “Del!”
            Aku mendengar suara Setio. Dan aku sadar aku berlari baru sampai kelas sebelah. Dan aku tepat berhenti di depan Setio dan Yosa.
            “Del”
            “Apa?”, kataku sedih.
            “Del, maaf”
            “Nggak ada yang harus kamu jelaskan!”, aku kini menatapnya dalam-dalam.
            “Tapi, Del…”, Setio memajukan tubuhnya.
            “SUDAH! CUKUP!”, aku lebih menatap dia tajam.
            “Maaf, itu upilmu agak keluar”, kata Setio.
            “Oh, makasih”, kataku sambil menjilat upil itu.
            “Hai, Del”, sapa Yose.
            Uh, tuh wanita. Maunya cari perhatian sama Setio biar dipikir ramah. Cuih, nggak zaman.
            “Hai”, ucapku datar.
            Aku kemudian pergi meninggalkan mereka. Tetapi setelah berdiri di dekat tangga, aku kembali menghadap belakang untuk melihat mereka. Hatiku terbakar karena kecemburuan teramat sangat. Setio sudah berpaling dariku sepertinya. Ah, untuk apa ada insiden itu? Aku benci sekali bertemu dia jika akhirnya harus begini. Aku kemudian meninju dinding yang aku sandari. Dinding itu retak sedikit. Tidak puas, aku benturkan kepalaku. Kepalaku retak sedikit.


            Pagi ini aku akan membawa satu dus lilin ke wihara sekali lagi. Aku sudah merencanakan untuk berbicara dengan Setio untuk berhenti bertemu dengan dia lagi dan berhenti membawa lilin wihara lagi. Aku sudah menyusun kata-kata dari Kamlay sehingga aku kuat untuk berbicara. Syukurlah, supir bus Kamlay mau membantuku menyusun kata-kata itu.
            DEG. Aku sekarang berdiri di depan rumah Setio. Aku langkahkan sedikit jempol kakiku menaiki tangga yang terlalu suci untukku. Aku tarik nafas dan menghembuskannya kembali lewat pantat. Siap. Aku siap. Aku angkat jariku ke arah bel rumah Setio. Tetapi pintu terbuka.
            “Del?”, Setio yang membuka pintu.
            “…”, aku cukup terkejut dengan kepala Setio yang sudah plontos.
            “Ah, tumben sekali pagi-pagi begini sudah datang”, sapanya ramah.
            “Plontos..eh, ada apa dengan kepalamu?”
            Setio hanya tersenyum lebar dan najis. Senyum mautnya menggetarkan kelopak mataku seperti biasa.
            “Set…”, kataku setelah Setio senyum-senyum kurang lebih 3600 detik sebentarnya.
            “Ya?”
            “Ada yang harus aku bicarakan”
            Setio memasang wajah ingin tahu. Dia mendekati wajahku dalam jarak semeter.
            “Huh. Begini. Akhir-akhir ini terus mendung. Nggak hujan, tapi juga nggak panas. Afrika Selatan saja lagi musim dingin. Lagi ada tanding piala dunia kan di sana. Padahal nonton bola serunya pake kacang sama minum kola. Kacang biasanya sih kacang tanah saja. Intinya, aku sudah nggak bisa nganterin lilin wihara lagi”, kataku.
            “K..kenapa?”
            “Soalnya, aku nggak bisa lagi ketemu kamu”
            Aku memandangnya seperti tayangan telenovela Esmeralda. Dia kemudian menyandarkan dirinya di pintu rumahnya. Aku tahu beban dia berat jika tidak melihat aku lagi.
            “Del, aku sebentar lagi akan menjadi bhante”
            TERENG! Gantian aku yang bersandar di lantai. Ke..kenapa? Kenapa mendengar hal itu membuatku masih terus ingin melihat dia?
            “Tidak bisa kah kamu terus menjadi bujangan?”, tanyaku lemas.
            Setio menggeleng. Aku mengangguk. Kemudian kami dugem.
            “Hah, baiklah”, kataku.
            “Jadi, kamu bisa kan tetap jadi pengantar lilin? Aku sudah tidak bisa mengantar lilin-lilin ini lagi”, kata Setio.
            “Kamu memang tidak pernah mengantar lilin-lilin ini, Setio”
            “Jadi, mau kah kamu tetap mengantar lilin-lilin ini?”
            Aku menggeleng. Setio mengangguk. Kemudian kami dugem.
            “Hah, baiklah”, kata Setio.
            “Jadi aku sudah tidak perlu mengantar lilin-lilin ini lagi?”
            Setio menggeleng. Aku mengangguk. Kemudian kami dugem.
            “Set, aku hanya bisa berdoa kepadamu. Semoga kamu bisa menjadi biksu nanti”
            “Terima kasih, Del”, kata Setio, “Akupun akan mendoakan kamu semoga kamu menjadi pegulat sejati”
            Aku tak kuasa berpisah dengan Setio. Ku balik badanku dan menitikkan setetes air mata dan aku usap pakai telapak kaki. Angin menerbangkan rambutku diiringi lagu sedih ala sinetron-sinetron ibu-ibu kompleks.


            Aku pergi mendaki Gunung Gede bersama teman-temanku. Hanya membutuhkan waktu 15 menit saja untuk sampai di puncak dengan helikopter dan 1 detik dengan pintu ajaib Doraemon. Tetapi kami lebih memilih dengan jalan kaki selama 7 jam. Ketika sampai di Surya Kencana, aku berjalan ke Sala Bintana. Tempat yang sangat banyak Edelweiss. Aku berjalan sendiri sambil merapatkan jaketku karena dingin. Aku juga membawa sambal kacang dan mangga muda untuk ngerujak Edelweiss di sana karena kebetulan aku sangat lapar.
            Kini di hadapanku adalah hamparan Edelweiss yang luas. Aku tertegun dan otakku mengflash back segala sesuatu yang berhubungan dengan Setio. Aku kemudian mengambil posisi seperti anjing (kaki berlutu, tangan menjadi tumpuan) dan mulai menggaruk tanah. Aku memukul-mukul tanah sambil menangis.
            “Setio bodoh! Setio bodoh! Kenapa dia tidak menikahiku! Kenapa dia hanya mau menjadi Bhante!”
            Tiba-tiba ada yang mengaitkan jaket untukku dari belakang. Aku menoleh. Ah, sahabatku, Naranjuez. Dia tersenyum.
            “Sudah, Del”, hiburnya.
            Aku menangis di dadanya.
            “Kalau kamu mau, kamu boleh pukul aku sekuat-kuatnya”, kata Naranjuez.
            Aku masih emosi dan kemudian meninju dia. Dia terperosok ke jurang. Kemudian dia manjat lagi ke atas dan mendekatiku.
            “Del, cinta tidak harus memiliki”, kata dia penuh wibawa.
            Aku mengangguk, tetapi dia tidak menggeleng. Jadi kami tidak jadi dugem.
            “Ini, hapus air matamu”, kata Naranjuez sambil memberikan tisu toilet.
            Aku menghapus air mataku. Naranjuez membuatku lebih tenang.
            “Terima kasih. Aku lebih tenang sekarang”, kataku.
            “Oke, sekarang keluarkan sambal kacang dan mangga mudamu. Ayuk kita ngerujak”


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...